Sunday, September 27, 2015

"Dapatkah" Al-Qur'an Diterjemahkan?

Pada sebuah majalah edisi 5-20 Februari 1987, ada pembahasan mengenai “Penerjemahan Makna Qur’an: Pandangan Tradisional dan Perdebatan Modern”. Majalah yang bernama “KIBLAT” tersebut memberikan laporan dalam kolom wawasan dan gagasan.

“Dapatkah” Al-Qur’an Diterjemahkan?

Sementara para sarjana muslim klasik membicarakan masalah penerjamahan makna Qur’an dalam konteks teologis dan yuristik secara ketat, para sarjana modern telah memperdebatkan problem ini sebagai prinsip. Masalahnya bagi mereka adalah, apakah sesungguhnya Qur’an bisa diterjemahkan atau tidak. Selain itu masalah tersebut juga terus menerus diperdebatkan di bawah pengaruh pandangan-pandangan politik para pemikir yang terlibat, pun di bawah pengaruh keadaan-keadaan politik yang berlaku pada saat itu. Hampir semua mereka kembali pada para sarjana klasik untuk mendukung pandangan-pandangan mereka dan mengkritik lawan-lawannya.

Pemikir pertama yang membahas masalah ini secara sistematik dan kemudian memberikan fatwa (pendapat hukum) yang komprehensif terhadapnya, adalah Muhammad Rasyid Ridla (wafat 1935), murid dan penerus Muhammad Abduh. Ridla merasa terguncang oleh usaha Republik Turki Baru yang pada 1920 menetapkan Bahasa Turki sebagai satu-satunya Bahasa untuk anak negeri, termasuk untuk maksud pembacaan Qur’an. Ini berarti diproduknya terjemahan Qur’an dalam Bahasa Turki secara resmi dan disingkirkannya teks Arab dalam komunikasi-komunikasi publik keagamaan.

Ridla mulai dengan suatu pembicaraan mengenai sejarah dari gagasan penerjemahan Qur’an. Dalam kaitan ini, argumennya bersifat instruktif, mengindikasikan pandangannya mengenai sejarah muslim. Ridla menulis: “Kelemahan para khalifah Quraisy yang dimanifestasikan dalam kelemahan para khalifah itu sendiri akibat kebodohan, kemewahan, dan korupsi, merupakan salah satu sebab penting dari timbulnya perpecahan dan kemerosotan kaum muslim. Akibat dari perpecahan dan kemerosotan seperti itulah, mereka menjadi lemah”. Sebaliknya, tulis Ridla, hal ini menyebabkan lahirnya dinasti-dinasti Islam yang saling berebut kekuasaan di kalangan sendiri. Konsekuensinya adalah erosi gradual kewibawaan Bahasa Arab, dan akhirnya disepelekannya Bahasa tersebut oleh kaum muslim non-Arab. Proses ini pertama-tama berakibat pada timbulnya usaha-usaha penerjemahan buku keagamaan, yang kemudian diikuti oleh pemikiran mengenai perlunya penerjemahan Qur’an sendiri. Qur’an kemudian mulai diterjemahkan ke dalam berbagai Bahasa agar bangsa-bangsa yang “tak berbahasa-Arab” bisa ditarik kepada Islam melalui cara-cara penerjemahan seperti itu. Tetapi di bawah pengaruh Nasionalisme Turki, penerjemahan Qur’an (ke Bahasa Turki) lebih dimaksudkan untuk meniadakan kebutuhan akan kitab Suci tersebut sebagaimana ia diturunkan (dalam Bahasa Arab).

Didorong oleh peristiwa beruntun dalam sejarah muslim itulah, Rasyid Ridla merasa perlu untuk menentang secara keras setiap usaha penerjemahan Qur’an. Dalam jawabannya kepada pertanyaan seorang muslim Rusia – Syekh Ahsan Syah Affandi Ahmad – mengenai boleh tidaknya penerjemahannya Qur’an, Ridla mengemukakan fatwanya panjang lebar yang secara tegas menolak usaha semacam itu. Argumen-argumen yang mendasari fatwanya itu meringkaskan secara jelas tujuan dari semua pendapatnya.

Rasyid Ridla memulai dengan membedakan antara penerjemahan dengan penafsiran. Dengan mengizinkan orang terakhir tetapi terbatas hanya untuk petunjuk bagi orang-orang yang bukan Arab. Kemudian dia menyatakan bahwa Qur’an adalah dasar agama Islam. Sebagai seorang juris, pendapatnya mengenai penerjemahan Qur’an adalah sebagai berikut: “Penalaran pribadi (ijtihad) melalui analogi (qiyas) harus didasarkan pada teks asli. Perumus-hukum tidak boleh menunjuk terjemahan sebagai teks actual (atau teks yang “bisa diterima”). Lebih dari itu, konsensus umum dari umat menuntut bukti khusus yang bisa mendukung perumusan hukum tersebut. Tidak ada terjemahan yang bisa memenuhi kebutuhan seperti ini. Demikianlah, orang yang menganggap sebuah Qur’an sebagai Qur’an yang actual, maka ia tidak akan memperoleh dasar-dasar Islam”. Lebih jauh Ridla mengatakan bahwa menganggap terjemahan Qur’an sebagai Qur’an itu sendiri, berarti taqlid kepada penerjemahnya: “agama tidak membolehkan ini”, katanya.

Setelah mengemukakan argument-argumen hukum mengenai penerjemahan Qur’an. Ridla menyebutkan satu demi satu keuntungan yang akan diperoleh kaum muslim setelah mempelajari Bahasa Qur’an. Mempelajari Bahasa Arab adalah perlu, katanya, untuk memahami Sunnah Nabi dan sejarah Islam yang awal. Lebih dari itu, seseorang yang secara tekun berupaya mempelajari Qur’an dan Sunnah, dan kemudian mematuhinya, maka dia akan diganjar oleh Tuhan di akhirat nanti dengan ganjaran yang berlimpahan, meski dia berbuat salah sekalipun. Qur’an adalah sumber ilmu Allah yang tak terbatas, yang para pembacanya harus mendeduksinya bagi diri mereka sendiri melalui generasi-generasi sebelumnya. Sebuah terjemahan, betapapun akuratnya, akan mengungkung pembacanya dari sumber aslinya karena setiap terjemahan selalu hanya merupakan refleksi dari pemahaman seseorang saja, yaitu pemahaman penerjemahnya.

Ridla lebih jauh juga berbicara mengenai akar-akar kesulitan penerjemahan Qur’an baik dari segi makna maupun isinya. Dia menegaskan bahwa adalah mustahil bagi seorang penerjemah untuk senantiasa menemukan sinonim dari istilah-istilah dan ekspresi-ekspresi Qur’an. Ini bisa menyebabkan kesalahpahaman, dan karena itu bisa menyebabkan pula diterimanya gagasan-gagasan yang tidak sesuai dengan maksud Qur’an yang sebenarnya. Seorang penerjemah bisa jadi menerjemahkan sebuah kalimat pernyataan Qur’an ke dalam Bahasa lain, sementara Tuhan memaksudkannya sebagai pernyatan metaforis. Kesalahan-kesalahan gawat bisa muncul dari sini, terutama yang berkenaan dengan atribut-atribut dan tindakan-tindakan Tuhan.

Akhirnya, Muhammad Rasyid Ridla mengemukakan argumennya mengenai ketaktertiruan Qur’an yakni dalam hal cara baca, diksi (gaya Bahasa dan gaya tulis), struktur, dan maknanya. Hanya dengan bacaan Qur’an misalnya, seorang non-muslim bisa tertarik pada Islam, bahkan meskipun ia tidak memahami artinya. Sebuah terjemahan, betapapun puitisnya, tidak akan seindah Qur’an yang asli dalam Bahasa Arab. Aspek penting lain dari keajaiban Qur’an adalah keunikan dan keistimewaannya. Karena itu meluasnya bentuk-bentuk terjemahan Qur’an, akan berarti munculnya bentuk-bentuk terjemahan Qur’an, akan berarti munculnya banyak sekali qur’an-qur’an. Ini pasti akan mengarah pada timbulnya alterasi dan variasi (tahrif) Qur’an.

Rasyid Ridla sejauh yang diketahui, telah bereaksi terhadap situasi yang spesifik ini. Meskipun demikian, pada prinsipnya dialah yang pertama-tama mengakui perlunya terjemahan-terjemahan interpretative terhadap kandungan Qur’an untuk membantu kegiatan studi Qur’an. Kebutuhan akan adanya terjemahan Qur’an seperti itu diakui pula oleh para sarjana sepanjang sejarah Islam. Oleh karena itu, ketidaksepakatan atasnya hanya terfokus pada status dan kegunaan terjemahan-terjemahan tersebut, serta implikasinya pada status dan kegunaan Bahasa Arab yang merupakan Bahasa Qur’an.

Sumber Tulisan: Majalah Kiblat Edisi Edisi 5-20 Februari 1987

Related Post:

0 comments:

Post a Comment